KPPU Jadi Sorotan Pembahasan UU Larangan Praktek Monopoli
Kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjadi sorotan dalam pembahasan revisi UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Badan Legislasi DPR RI dengan Pande Radja Silalahi dan Ningrum Natasya Sirait di Ruang Rapat Baleg DPR RI, Jakarta, Rabu (29/1).
Rapat Dengar Pendapat Umum Baleg guna menghimpun masukan bagi penyusunan draft RUU Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut dipimpin Wakil Ketua Baleg, Ahmad Dimyati Natakusumah.
Menurut Pande Radja Silalahi, kewenangan yang diberikan UU Nomor 5 Tahun 1999 masih kurang mendukung tugas sebagaimana diamanatkan UU Nomor 5 Tahun 1999 kepada KPPU.
Menurut Pande, aga dapat melaksanakan UU ini secara efisien dan efektif yang sesuai dengan tujuan pembentukannya, maka KPPU perlu diberi kewenangan yang menyangkut antara lain, kewenangan untuk mendapatkan alat bukti atas inisiatif KPPU, kewenangan menentukan teknis pelaksanaan merger, peleburan, penggabungan dan pengambilalihan, kewenangan memerintahkan pelaku usaha menghentikan kegiatannya sementara untuk menghindari kerugian yang lebih besar, kewenangan meletakkan sita atas benda milik terhukum untuk menjamin pembayaran denda/ganti rugi dengan ijin pengadilan dan kewenangan meminta bantuan pihak Kepolisian dalam hal menegakkan kepatuhan pelaku usaha dalam proses pelaksanaan UU Nomor 5 Tahun 1999 dan kepatuhan melaksanakan putusan KPPU sesuai waktunya.
Salah satu masalah yang menonjol yang belum terselesaikan sejaka diberlakukannya UU ini adalah status dan kedudukan KPPU dan aparat atau personel pegawainya dalam sistem ketatanegaraan. Ketidakjelasan kedudukan KPPU ini telah berimplikasi kepada Sekretariat KPPU sebagai pendukung kelancaran tugas KPPU.
“Dapat dipahami pada awal pembentukannya menerapkan ketentuan yang berlaku di PNS atau lembaga pemerintah lainnya pada KPPU tidak tepat. Karena KPPU diharapkan dapat bekerja dengan cepat sesuai tuntutan perkembangan sehingga reward atau kontra prestasi yang diterima lebih besar dari yang terjadi pada PNS,” papar Pande.
Sependapat dengan Pande, Ningrum Natasya Sirait dari Universitas Sumatera Utara kewenangan KPPU dianggap kurang mendukung tugas yang diamanatkan UU Larangan Praktek Monopoli.
Dijelaskan Ningrum, seringkali KPPU kesulitan untuk mendapatkan bukti-bukti yang dibutuhkan didalam proses pemeriksaan. Hal ini dikarenakan selama ini bukti-bukti didapatkan KPPU sebagian besar masih sangat tergantung dari bukti-bukti yang diserahkan oleh pihak pelaku usaha yang diperiksa.
“Hal ini sudah barang tentu sangat berpengaruh kepada hasil pemeriksaan yang dilakukan KPPU,” ujar Ningrum.
Oleh karena itu, kata Ningrum, diperlukan penambahan kewenangan seperti penyitaan barang bukti dan penggeledahan. Karena dalam prakteknya banyak pelaku usaha tidak kooperatif ketika diminta dokumen.
Namun demikian, katanya, KPPU harus diputuskan terlebih dahulu fungsi utamanya ketika kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan diberikan. Sebab kemungkinan konsekuensi terbesarnya kewenangan pemutus akan dipersoalkan karena luasnya kewenangan yang dimiliki. (sc), foto : hr/parle/naefurodjie*